Tragedi Pembagian yang Menyedihkan Penduduk India-Pakistan

Tragedi Pembagian yang Menyedihkan Penduduk India-Pakistan – Sejarah dunia dipenuhi dengan peristiwa yang meninggalkan luka mendalam dalam ingatan manusia. Salah satu tragedi yang masih terasa hingga saat ini adalah pemindahan penduduk antara India dan Pakistan pada tahun 1947. Peristiwa ini terjadi seiring dengan pembagian dua negara tersebut menjadi India dan Pakistan yang menandai berakhirnya kekuasaan Inggris di sub benua India.

Latar Belakang Perang

Setelah berabad-abad dijajah, rakyat India bangkit untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan Inggris. Pada tahun 1947, Inggris mengambil keputusan drastis untuk membagi wilayah India menjadi dua negara berdaulat, yaitu India dan Pakistan. Pembagian ini dilandaskan pada faktor agama, di mana India akan menjadi negara mayoritas Hindu, sementara Pakistan akan menjadi negara mayoritas Muslim. Sayangnya, keputusan ini tidak hanya menciptakan dua negara merdeka, tetapi juga melahirkan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah. https://www.creeksidelandsinn.com/

Tragedi Pembagian yang Menyedihkan Penduduk India-Pakistan

Proses Pemindahan Penduduk

Proses pemindahan penduduk antara India dan Pakistan pada tahun 1947 menyebabkan gelombang migrasi massal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jutaan orang Hindu, Muslim, dan Sikh dipaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka demi keamanan agama mereka. Pemindahan penduduk ini tidak hanya dipenuhi oleh sukacita kemerdekaan, tetapi juga oleh kepedihan dan penderitaan.

Perjalanan yang Diwarnai Oleh Kekerasan

Para pengungsi terpaksa meninggalkan rumah mereka dengan hanya membawa barang-barang pribadi yang terbatas. Perjalanan mereka diwarnai oleh kekerasan, pembantaian, dan kekacauan. Banyak yang kehilangan nyawa dalam perjalanan atau menjadi korban serangan kelompok militan yang bermusuhan. Pemindahan penduduk ini juga memicu konflik etnis dan agama yang masih berlanjut hingga hari ini di beberapa wilayah di India dan Pakistan.

Tragedi Luka Emosional yang Mendalam

Tragedi ini juga menyisakan bekas luka emosional bagi mereka yang selamat. Banyak yang kehilangan keluarga dan kerabat, sementara yang lain harus memulai kehidupan baru di tempat yang asing. Kisah-kisah pemindahan penduduk ini menjadi narasi kelam dalam sejarah India dan Pakistan, mengingatkan dunia akan konsekuensi tragis dari perpecahan yang didasarkan pada perbedaan agama.

Hingga saat ini, pemindahan penduduk India-Pakistan tetap menjadi ingatan yang pahit dan menyedihkan dalam sejarah keduanya. Meskipun telah berlalu puluhan tahun, kenangan akan tragedi tersebut tetap hidup dalam ingatan mereka yang menjadi saksi dan keturunan dari generasi yang mengalami pemisahan menyakitkan ini.

Continue Reading

Share

Sejarah Kematian Massal dan Tragedi Pulau Babi di Indonesia

Sejarah Kematian Massal dan Tragedi Pulau Babi di Indonesia – Sejarah Indonesia dipenuhi dengan peristiwa bersejarah yang menciptakan bekas luka mendalam dalam perjalanan bangsa ini. Salah satu tragedi yang menyedot perhatian dunia adalah Tragedi Pulau Babi, suatu kejadian tragis yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia.

Tragedi ini bukan hanya menandai kematian massal, tetapi juga menjadi simbol penganiayaan yang menghantui ingatan kolektif masyarakat.

Tragedi Pulau Babi Bermula

Tragedi Pulau Babi bermula pada tahun 1984, ketika pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negara. Pulau Babi, yang terletak di Timur Indonesia, menjadi saksi bisu dari kebrutalan yang tak terbayangkan. hari88

Pemerintah menggunakan kekuatan militer untuk menindas kelompok-kelompok tersebut, tanpa pandang bulu terhadap hak asasi manusia.

Sejarah Kematian Massal dan Tragedi Pulau Babi di Indonesia

Kematian Massal

Kematian massal terjadi ketika pasukan keamanan melancarkan serangan terkoordinasi terhadap Pulau Babi. Warga sipil, tanpa memandang usia atau jenis kelamin, menjadi korban yang tidak berdosa. Kelompok-kelompok aktivis dan perlawanan dianggap sebagai musuh negara, dan mereka diburu dengan kejam.

Tragedi ini menyisakan trauma mendalam di hati keluarga yang kehilangan orang-orang tercinta dan menyisakan luka yang masih terasa hingga hari ini.

Penganiayaan terhadap para aktivis dan warga sipil tidak hanya terbatas pada aksi militer di lapangan, tetapi juga melibatkan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.

Banyak yang menghilang tanpa jejak, dan keluarga mereka terus mencari keadilan yang sulit diwujudkan di tengah suasana represi politik.

Medan Pertempuran

Setelah tahun-tahun berlalu, Indonesia mulai menghadapi masa transisi menuju demokrasi pada akhir 1990-an. Tragedi Pulau Babi menjadi sorotan internasional, memaksa pemerintah Indonesia untuk menghadapi masa lalu yang kelam.

Gerakan hak asasi manusia dan advokasi kemanusiaan memainkan peran penting dalam membongkar kebenaran dan mendesak untuk pengadilan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas tragedi ini.

Menjadi Sejarah Simbol Perlawanan dan Keberanian

Meskipun telah berlalu beberapa dekade, Pulau Babi tetap menjadi simbol perlawanan dan keberanian. Ingatan akan kematian massal dan penganiayaan di Pulau Babi terus menginspirasi generasi muda untuk berjuang demi keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia.

Tragedi ini juga mengajarkan kita pentingnya menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.

Sebagai bagian dari sejarah yang penuh warna dan pahit, Tragedi Pulau Babi mengingatkan kita bahwa perjalanan menuju keadilan dan kemanusiaan tidak selalu mudah. Dengan memahami dan menghormati sejarah ini, kita dapat melangkah maju sebagai bangsa yang lebih kuat, bijak, dan berkomitmen untuk mencegah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Continue Reading

Share

Tragedi Pembantaian Nanjing dalam Kekejaman Perang

Tragedi Pembantaian Nanjing dalam Kekejaman Perang – Sejarah seringkali mencatat peristiwa tragis yang menggetarkan jiwa manusia, dan salah satunya adalah Pembantaian Nanjing pada masa Perang Tiongkok-Jepang Kedua pada tahun 1937-1938. Peristiwa ini terjadi saat pasukan Jepang merebut kota Nanjing, mengundang kehancuran yang begitu mendalam dan mengerikan.

Latar Belakang Perang

Pada Desember 1937, pasukan Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Iwane Matsui berhasil mengepung dan memasuki kota Nanjing, yang saat itu menjadi ibu kota Republik Tiongkok. Apa yang terjadi selanjutnya menjadi salah satu bab tergelap dalam sejarah perang, dikenal sebagai Pembantaian Nanjing atau “The Rape of Nanking.”

Tragedi Pembantaian Nanjing dalam Kekejaman Perang

Medan Pertempuran yang Mengerikan

Ketika pasukan Jepang menguasai kota, mereka melancarkan serangkaian kekejaman yang tidak terbayangkan. Pembunuhan massal, pemerkosaan, perampokan, dan penyiksaan menjadi pemandangan sehari-hari. Jumlah korban Pembantaian Nanjing diperdebatkan, tetapi diperkirakan mencapai ratusan ribu orang, termasuk warga sipil yang tidak bersalah. https://hari88.net/

Para saksi mata melaporkan kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Jepang, mulai dari penembakan massal terhadap warga sipil, pemerkosaan massal terhadap wanita dan anak-anak, hingga penguburan hidup-hidup. Kota Nanjing yang sebelumnya makmur dan penuh kebudayaan, berubah menjadi medan kehancuran yang tak terlupakan.

Kematian Massal

Pembantaian Nanjing menciptakan luka yang mendalam dalam hubungan Tiongkok-Jepang dan meninggalkan bekas trauma yang masih terasa hingga hari ini. Peristiwa ini diakui oleh sejarawan sebagai salah satu contoh kekejaman perang yang paling mengerikan dalam sejarah manusia.

Dampak Dari Perang

Sejak saat itu, masyarakat internasional dan peneliti berusaha untuk mengingatkan dunia akan kekejaman perang dan mengajarkan pentingnya perdamaian serta penghormatan terhadap martabat manusia. Pembantaian Nanjing menjadi saksi bisu akan dampak destruktif yang dapat ditimbulkan oleh perang, dan mengingatkan kita untuk tidak pernah melupakan sejarah yang pahit sebagai pembelajaran bagi masa depan.

Dalam mengenang tragedi ini, kita diingatkan untuk terus berjuang demi perdamaian, menghormati hak asasi manusia, dan memastikan bahwa kekejaman perang seperti Pembantaian Nanjing tidak akan terulang kembali di masa mendatang. Sejarah Nanjing harus diabadikan sebagai peringatan bagi generasi yang akan datang agar mereka dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan bersama-sama membangun dunia yang lebih adil dan damai.

Continue Reading

Share

Kisah Genosida Rwanda dan Mencegah Pembantaian

Kisah Genosida Rwanda dan Mencegah Pembantaian – Genosida Rwanda pada tahun 1994 adalah salah satu babak kelam dalam sejarah kemanusiaan yang menyaksikan kegagalan besar dalam mencegah pembantaian massal. Konflik etnis antara Hutu dan Tutsi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun mencapai puncaknya, meninggalkan ribuan korban tewas dan trauma mendalam di antara masyarakat Rwanda.

Latar Belakang Konflik:

Rwanda, sebuah negara kecil di Afrika Tengah, telah lama dilanda ketegangan etnis antara kelompok mayoritas Hutu dan minoritas Tutsi. Meskipun perbedaan etnis ini sebagian besar bersifat sosial-ekonomi daripada rasial, pemerintahan kolonial Prancis dan Belgia memperkuat perpecahan ini dengan memberikan hak istimewa kepada Tutsi selama masa penjajahan. hari88

Kisah Genosida Rwanda dan Mencegah Pembantaian

Pemicu Genosida:

Pada tanggal 6 April 1994, pesawat yang membawa Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana, ditembak jatuh. Kejadian ini menjadi pemicu bagi kelompok ekstremis Hutu untuk melancarkan serangan brutal terhadap Tutsi dan Hutu moderat. Massa menyulut genosida yang terencana dengan seksama, memobilisasi kelompok paramiliter dan milisi Hutu yang menyebarkan kebencian dan kekerasan.

Kegagalan Internasional:

Salah satu tragisnya aspek genosida Rwanda adalah kegagalan komunitas internasional dalam mencegah dan merespon bencana kemanusiaan ini. Meskipun tanda-tanda konflik telah muncul, PBB gagal menyediakan bantuan dan mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pembantaian. Pasukan penjaga perdamaian PBB di Rwanda tidak mendapatkan mandat yang cukup untuk melibatkan diri secara efektif.

Reaksi Terlambat:

Dunia baru terbangun dari tidurnya setelah ribuan nyawa melayang. Barulah setelah pembantaian berlangsung selama beberapa bulan, pasukan PBB dan pasukan perdamaian Afrika dibawa masuk untuk menghentikan kekerasan. Sayangnya, upaya ini terlambat dan banyak korban telah kehilangan nyawa atau mengalami trauma yang tak terlupakan.

Pascagenosida:

Setelah genosida berakhir, Rwanda berada dalam keadaan puing-puing. Proses rekonsiliasi dimulai, tetapi bekas luka konflik masih dapat terasa dalam masyarakat. Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR) dibentuk untuk menuntut pelaku genosida, tetapi proses ini memakan waktu dan tidak semua yang bersalah dapat diadili.

Pelajaran Berharga:

Genosida Rwanda adalah pengingat tragis tentang kegagalan manusia dalam menghargai kehidupan dan mencegah konflik yang dapat merenggut ribuan nyawa. Peristiwa ini juga mengajarkan kita pentingnya intervensi dini dan peran komunitas internasional dalam menjaga perdamaian dunia.

Sebagai masyarakat global, kita memiliki tanggung jawab untuk belajar dari kesalahan masa lalu dan bekerja sama dalam mencegah genosida dan konflik serupa di masa depan. Pendidikan, dialog antarkelompok, dan keterlibatan aktif dalam perdamaian adalah kunci untuk memastikan bahwa kisah kelam Rwanda tidak terulang di tempat lain.

Continue Reading

Share

Penderitaan dan Kematian di Medan Pertempuran Perang Dunia I

Penderitaan dan Kematian di Medan Pertempuran Perang Dunia I – Perang Dunia I, yang berlangsung dari tahun 1914 hingga 1918, merupakan konflik global terbesar yang melibatkan kekuatan besar di seluruh dunia. Medan pertempuran yang melibatkan pasukan Sekutu dan Blok Sentral menciptakan sejarah yang penuh dengan penderitaan dan kematian yang mendalam.

Latar Belakang Perang

Perang Dunia I dipicu oleh serangkaian peristiwa kompleks, termasuk pembunuhan Pangeran Franz Ferdinand di Sarajevo pada 28 Juni 1914. Ketegangan antar-negara-negara besar di Eropa memuncak, dan perang pun meletus. Sekutu, yang terdiri dari Prancis, Inggris, Rusia, dan negara-negara lain, bertempur melawan Blok Sentral yang dipimpin oleh Jerman, Austria-Hongaria, dan Kesultanan Utsmaniyah. https://hari88.com/

Penderitaan dan Kematian di Medan Pertempuran Perang Dunia I

Medan Pertempuran yang Mengerikan

Pertempuran di Front Barat, seperti Pertempuran Somme dan Verdun, menyaksikan penderitaan tak terbayangkan. Para prajurit terjebak dalam parit-parit lumpur yang kotor dan kondisi hidup yang mengerikan. Serangan senjata modern seperti senapan mesin, senjata kimia, dan artileri membuat pertempuran semakin brutal.

Penderitaan di Trench Warfare

Perang ini dikenal dengan taktik peperangan parit yang menghasilkan penderitaan luar biasa. Para prajurit hidup dalam kondisi yang sangat sulit, terancam penyakit, kelelahan, dan ancaman musuh setiap saat. Kondisi ini menciptakan psikologis yang traumatis dan memberikan pengalaman pahit bagi para pejuang yang terlibat.

Kematian Massal

Angka kematian selama Perang Dunia I mencapai angka yang mencengangkan. Jutaan prajurit tewas atau terluka parah. Pertempuran-pertempuran besar seperti Pertempuran Somme dan Pertempuran Verdun menelan korban dalam jumlah yang sangat besar. Pasukan sekutu dan Blok Sentral sama-sama menderita kerugian yang besar, menciptakan pemandangan yang mencekam di medan pertempuran.

Dampak Perang Dunia I

Perang Dunia I memiliki dampak jangka panjang yang mendalam. Banyak negara mengalami krisis ekonomi, pergolakan politik, dan perubahan sosial yang signifikan. Kesepakatan damai ditandai dengan Traktat Versailles pada tahun 1919, yang menentukan kondisi damai dan memberikan bentuk awal Liga Bangsa-Bangsa.

Kesimpulan

Perang Dunia I menjadi kisah penderitaan dan kematian yang mengguncang dunia. Para prajurit yang berjuang di medan pertempuran membayar harga mahal untuk perdamaian dan keamanan global. Sementara peristiwa ini merusak dan meruntuhkan, ia juga menjadi pembelajaran berharga tentang konsekuensi destruktif dari konflik berskala besar, memicu upaya masyarakat internasional untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.

Continue Reading

Share

Tragedi Holocaust Kehancuran Hidup dalam Pembantaian Massal

Tragedi Holocaust Kehancuran Hidup dalam Pembantaian Massal – Holocaust, sebuah tragedi sejarah yang mengguncang dunia, merujuk pada pembantaian massal yang dilakukan oleh rezim Nazi Jerman selama Perang Dunia II. Peristiwa ini tidak hanya mencoreng sejarah, tetapi juga meninggalkan bekas luka yang mendalam pada manusia. Artikel ini akan membahas tragedi Holocaust, memperkenalkan pembaca pada kehancuran hidup yang tak terlupakan dalam pembantaian massal tersebut.

Latar Belakang:

Holocaust dimulai pada tahun 1933 ketika Adolf Hitler berkuasa di Jerman. Rezim Nazi mulai mengenakan undang-undang diskriminatif terhadap Yahudi dan kelompok minoritas lainnya. Namun, kejadian tragis mencapai puncaknya pada 1941 hingga 1945 ketika kamp konsentrasi dan kamp pemusnahan mulai dibangun. premium303

Tragedi Holocaust Kehancuran Hidup dalam Pembantaian Massal

Pembantaian Massal:

Kamp-kamp ini menjadi tempat penyiksaan, eksekusi, dan eksperimen medis yang kejam. Para tahanan, sebagian besar adalah orang Yahudi, dihadapkan pada kondisi hidup yang mengerikan, kelaparan, penyiksaan, dan kekejaman lainnya. Sementara beberapa di antara mereka mungkin bertahan, sebagian besar mengalami kematian yang tragis.

Kehancuran Hidup:

Penderitaan dalam kamp-kamp tersebut tergambar dalam kehilangan keluarga, teman, dan martabat manusiawi. Anak-anak dipisahkan dari orang tua, pasangan dipisahkan, dan kehidupan keluarga dihancurkan. Tidak hanya itu, para tahanan juga mengalami pelecehan seksual, pekerjaan paksa, dan eksperimen medis yang tidak manusiawi.

Pertolongan dan Perlawanan:

Meskipun dalam kondisi yang sangat sulit, beberapa individu dan kelompok berani melawan kekejaman tersebut. Perlawanan di kamp-kamp tersebut, meskipun sulit, menjadi cermin kegigihan manusia dalam menghadapi kejahatan yang tak terbayangkan. Keberanian orang-orang ini, yang terus berjuang demi hidup dan kebebasan, menjadi titik cemerlang di tengah kegelapan tragedi Holocaust.

Dampak Jangka Panjang:

Holocaust meninggalkan dampak psikologis dan emosional yang mendalam pada para korban yang selamat. Selain itu, peristiwa ini juga memicu perubahan besar dalam norma internasional dan pemahaman kita tentang hak asasi manusia. Holocaust menjadi peringatan tentang bahaya intoleransi, kebencian, dan diskriminasi, serta perlunya menjaga perdamaian dan kesatuan di dunia.

Kesimpulan:

Tragedi Holocaust adalah bab kelam dalam sejarah manusia yang tidak boleh dilupakan. Artikel ini hanya sepotong kecil dari narasi yang lebih luas tentang penderitaan dan kehancuran yang dialami oleh jutaan orang. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memahami, menghormati, dan mengajarkan kembali sejarah ini agar kita tidak pernah mengulangi kesalahan tragis tersebut di masa depan.

Continue Reading

Share

Penjelasan Politik Dunia: Revolusi Rusia

Penjelasan Politik Dunia: Revolusi Rusia – Bagi kebanyakan orang, istilah “Revolusi Rusia” memunculkan serangkaian gambaran yang populer: demonstrasi di Petrograd yang dingin pada Februari 1917,

Penjelasan Politik Dunia: Revolusi Rusia

pria berjas besar di Soviet Petrograd, Vladimir Lenin berbicara di depan orang banyak di depan stasiun Finlandia, para demonstran bubar selama Juli hari dan penyerbuan Istana Musim Dingin pada bulan Oktober. https://www.premium303.pro/

Apa yang terjadi?

Ini semua adalah peristiwa penting yang memaksa Tsar untuk turun takhta, membawa Bolshevik ke tampuk kekuasaan, membawa Rusia keluar dari perang dunia pertama, mendorong intervensi Inggris, Amerika, dan Jepang, dan mendorong kekaisaran Romanov menuju perang saudara berdarah selama bertahun-tahun.

Di kalangan sosialis revolusioner, mereka masih mengilhami lamunan tentang revolusi masa depan. Sejarawan di kanan politik, sebaliknya, mempromosikannya sebagai peringatan tentang apa yang terjadi jika Anda mencoba mengubah dunia. Di Rusia, sementara itu, mereka menimbulkan tantangan kompleks untuk membangun masa lalu yang dapat menginspirasi masa kini.

Kisah standar yang dirangkum oleh gambar-gambar ini kira-kira seperti ini:

Kekaisaran Rusia, yang sudah berada di bawah tekanan politik dan sosial yang parah pada tahun 1914, pecah di bawah tekanan perang modern. Pada tahun 1916, pemberontakan besar-besaran menentang wajib militer untuk bekerja mengguncang Asia Tengah.

Pada tahun 1917, giliran jantung Rusia. Pemogokan industri, protes atas kekurangan pangan, dan demonstrasi perempuan digabungkan untuk menciptakan krisis revolusioner di Petrograd, ibu kota kekaisaran.

Akhirnya, krisis ini meyakinkan elit politik dan militer untuk menekan Tsar untuk turun tahta. Peristiwa ini dikenal sebagai revolusi Februari.

Mereka ternyata hanya langkah pertama. Sepanjang tahun 1917, revolusi menjadi radikal sampai pada bulan Oktober, sayap paling radikal dari Sosial Demokrat Rusia Bolshevik Lenin mengambil alih kekuasaan atas nama kelas pekerja revolusioner. Revolusi Oktober, pada gilirannya, memicu Perang Saudara Rusia yang akhirnya dimenangkan oleh kaum Bolshevik.

Tetapi fokus pada peristiwa di Petrograd pada tahun 1917 ini menyesatkan. Jika kita ingin memahami pentingnya revolusi Rusia bagi dunia saat ini, kita perlu memahami posisinya dalam proses sejarah yang lebih luas dan juga kompleksitasnya.

Konteks yang lebih besar

Apa yang terjadi pada tahun 1917 bukan hanya permulaan. Itu juga merupakan momen dalam lintasan yang lebih besar dari kekaisaran Romanov (Kekaisaran Rusia pra-Soviet) yang terlibat dalam perang dunia yang tidak siap untuk dilawan.

1917 adalah bagian dari kisah bagaimana sebuah kerajaan, yang dibangun antara abad ke-15 dan ke-18 atas dasar petani yang terikat pada tanah tuan mereka (perhambaan) dan kekuatan tak terbantahkan dari Tsar (otokrasi) mencoba untuk mengatasi dunia yang berubah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang dipenuhi dengan kerajaan luar negeri, industrialisasi, dan masyarakat massa yang sedang berkembang.

Ini hanyalah potret dalam sejarah imperialisme, perubahan ekonomi dan sosial, dan dekolonisasi. Ini semua adalah proses yang sedang berlangsung yang masih mengganggu kawasan ini hingga saat ini.

Rangkaian peristiwa ini dimulai dengan hilangnya Perang Krimea tahun 1853-56, yang memicu Reformasi Besar tahun 1860-an dan 1870-an.

Bersamaan dengan dorongan yang gigih pada tahun 1890-an untuk mengindustrialisasi negara, reformasi ini membawa masyarakat yang baru, lebih modern, lebih urban, dan lebih terdidik.

Masyarakat yang lebih kompleks ini kemudian menghadapi ujian pertamanya pada tahun 1904-05. Perang yang menghancurkan melawan Jepang cukup membuat kekaisaran tidak stabil untuk memicu revolusi pertama pada tahun 1905. Hal itu memaksa Tsar untuk membuat konsesi terhadap politik modern melalui pembentukan parlemen semu, partai hukum, dan penurunan kontrol media.

Kemudian datanglah perang dunia pertama. Kampanye militer berjalan buruk, membuat para elit tidak puas dengan rezim yang jelas-jelas tidak kompeten, menggeser populasi dalam skala besar, mengintensifkan perasaan nasional di kerajaan multi-etika ini, memicu krisis ekonomi dalam proporsi yang sangat besar, dan semakin mempolarisasi perpecahan sosial antara yang kaya dan yang memiliki.

Hasilnya adalah sekelompok perang, revolusi, dan perang saudara yang berlangsung hingga awal 1920-an. Persatuan republik Sosialis Soviet yang muncul dari bencana ini menyatukan sebagian besar wilayah yang pernah diperintah oleh Romanov. Sementara itu, Finlandia, Latvia, Estonia, Lituania, dan Polandia menempuh jalannya sendiri, setidaknya sampai perang dunia kedua.

Relevansi kontemporer

“Revolusi Rusia”, kemudian, bukan hanya Rusia dan bukan hanya sebuah revolusi. Itu juga merupakan momen ketika negara-negara modern lahir.

Terlepas dari sejarah sebelumnya, Ukraina, Belarus, Lituania, Latvia, dan Estonia saat ini memulai kehidupan mereka di wadah perang dan revolusi. Finlandia dan Polandia yang merdeka juga melihat terangnya hari pada tahun 1917.

Seperti yang telah ditunjukkan oleh seorang sejarawan dalam tinjauan singkat tentang peristiwa-peristiwa di Ukraina, “revolusi Ukraina bukanlah revolusi Rusia.”

Revolusi yang lebih demokratis di Omsk, Samara, dan Ufa juga tidak sama dengan revolusi Bolshevik di Petrograd, belum lagi revolusi di luar puncak Kaukasus, atau revolusi pedesaan akar rumput di seluruh kekaisaran.

Revolusi-revolusi lain ini, yang sering dilupakan tetapi merupakan bagian dari proses seperti peristiwa-peristiwa ikonik di Petrograd, sama dengan kehancuran kekaisaran yang dahsyat pada tahun 1918.

Tapi periode revolusioner melihat lebih dari sekedar penggantian satu kerajaan dengan yang lain. Itu juga mengubah banyak hal dengan tegas. Pertama, kekaisaran Soviet bukanlah kapitalis, terlepas dari mekanisme pasar terbatas yang diizinkan di bawah Kebijakan Ekonomi Baru (NEP), yang diperkenalkan pada tahun 1921 untuk menangani krisis ekonomi bencana yang ditimbulkan oleh perang, revolusi, dan perang saudara.

Kekaisaran baru itu juga jauh lebih nasional dalam bentuk daripada pendahulunya Romanov. Aspirasi masyarakat non-Rusia harus diakomodasi dalam beberapa cara dan karenanya negara federal semu didirikan, di mana “Republik serikat” (seperti Ukraina, Belarus, atau Rusia) bergabung bersama dalam Uni Republik Sosialis Soviet (atau Uni Soviet).

Pada tahun 1991, itu akan pecah di sepanjang perbatasan republik-republik Union ini, garis-garis yang ditarik, pada umumnya, sebagai akibat dari penaklukan kembali tanah Romanov oleh Tentara Merah yang revolusioner.

Garis-garis ini menjadi lebih signifikan dari waktu ke waktu, karena aspek kedua yang menjangkau jauh dari transformasi nasional kekaisaran Romanov multi-etnis dalam wadah revolusi “Rusia”. Untuk menghadapi ancaman nasionalisme, Uni Soviet menjadi “afirmative action empire”, yang memberi ruang dan sumber daya bagi minoritas non-Rusia untuk mengembangkan bahasa dan budaya mereka.

Penegasan prinsip nasional ini dimaksudkan untuk melucuti nasionalisme dan membantu perkembangan sosialisme. Sebaliknya, secara tidak sengaja “mempromosikan partikularisme etnis”.

Penjelasan Politik Dunia: Revolusi Rusia

Akibatnya, banyak nasionalisme yang kita jumpai di kawasan saat ini sebagian besar merupakan hasil dari pembuatan bangsa Soviet yang paradoks ini.

Continue Reading

Share

Kapten Cook ‘Menemukan’ Australia, Mitos Buku Sekolah Tua

Kapten Cook ‘Menemukan’ Australia, Mitos Buku Sekolah Tua – Kapten James Cook tiba di Pasifik 250 tahun yang lalu, memicu penjajahan Inggris di wilayah tersebut.

Kapten Cook 'Menemukan' Australia, Mitos Buku Sekolah Tua

Kami meminta para peneliti untuk merenungkan apa yang terjadi dan bagaimana hal itu membentuk kita hari ini. Anda dapat melihat cerita lain dalam seri di sini, dan interaktif di sini. hari88

Mendekati peringatan 250 tahun perjalanan pertama Cook ke Pasifik, The Conversation bertanya kepada pembaca apa yang mereka ingat saat belajar di sekolah tentang kedatangannya di Australia.

Kebanyakan orang mengatakan bahwa mereka belajar Cook “menemukan” Australia terutama jika mereka berada di sekolah sebelum tahun 1990-an.

Tergantung pada saat Anda bersekolah, Anda mungkin telah belajar secara berbeda tentang peran Kapten Cook dalam sejarah Australia. Untuk mengetahui bagaimana pengajaran Cook di sekolah-sekolah Australia telah berubah, saya memeriksa buku-buku pelajaran yang digunakan pada tahun 1950-an hingga saat ini.

Tahun sekolah 1950-an dan awal 1960-an

Jika Anda bersekolah setelah perang dunia kedua hingga pertengahan 1960-an, Australia masih memiliki hubungan yang kuat dengan Kerajaan Inggris.

Cook digambarkan sebagai salah satu penjelajah terbesar dalam sejarah dan buku teks menyajikan pesan yang jelas Cook “menemukan” Australia dan “mengambil alih” tanah untuk Inggris.

Teks Queensland tahun 1959 Social Studies for Standard VIII (Queensland) oleh GT Roscoe mengatakan Cook “mendarat di Possession Island, mengangkat Union Jack, mengklaim negara itu sebagai Raja Inggris”.

Dalam Conquering the Continent (1961), CH Wright menyebutkan beberapa kontak dengan masyarakat adat di Botany Bay, tetapi tidak disebutkan konflik. Wright menulis

Orang kulit hitam menawarkan sedikit perlawanan; mereka dengan cepat berdiri setelah ketakutan oleh tembakan senjata.

Tahun ajaran 1965 sampai 1979

Jika Anda bersekolah antara tahun 1965 dan 1979, Anda sedang belajar selama era pemerintahan Menzies, Whitlam dan Fraser (di antara beberapa lainnya).

Saat itulah kesadaran mulai tumbuh tentang dampak negatif penjajahan terhadap masyarakat Pribumi Australia.

ES Elphick’s 1974 Birth of a Nation melanjutkan narasi “penemuan dan kepemilikan”, tetapi mengakui bahwa orang Pribumi berada di Australia sebelumnya:

Orang Australia pertama datang ke sini setidaknya 30.000 tahun yang lalu, dan untuk semua kecuali 200 tahun terakhir dari periode ini menikmati kepemilikan tanpa henti atas tanah yang mereka datangi[…] Orang kulit putih, pada kenyataannya, membutuhkan waktu yang sangat lama untuk tiba.

Bab Paul Ashton dalam Investigating Australian History Using Evidence (1985) karya David Stewart mendorong siswa untuk “bekerja sebagai sejarawan” dengan memeriksa sumber primer (dalam hal ini peta lama) dan mengevaluasi interpretasi sejarah.

Ashton menekankan pentingnya “penemuan” ilmiah:

Prestasi Cook memang luar biasa, begitu pula bakatnya sebagai navigator. Akhirnya, bagan pantai timur Australia yang cukup akurat dapat ditambahkan ke pengetahuan Eropa tentang benua itu, bersama dengan banyak penemuan alam dan ilmiah. Namun, penemuan itu belum selesai […]

Sekolah tahun 1981 hingga 1995

Jika Anda bersekolah di tahun 1980-an dan awal hingga pertengahan 90-an, Anda mungkin telah belajar sejarah dari perspektif yang lebih inklusif yang mencakup pengalaman hidup mereka yang sebagian besar tertinggal dari narasi tradisional, seperti anak-anak, perempuan, dan masyarakat adat.

Baca lebih lanjut: ‘Saya berbicara tentang Dreamtime, saya mencentang kotak’: guru mengatakan mereka kurang percaya diri untuk mengajar perspektif Pribumi

Tetapi di Australia: All Our Yesterdays (1999), penulis Meg Gray Bladen menyajikan kisah yang ramah tentang Cook yang tidak menghadapi perlawanan dari masyarakat Pribumi:

Di sebuah pulau kecil yang sekarang bernama Pulau Kepemilikan, Cook melakukan tugas resmi terakhir dan terpenting dari seluruh perjalanannya. Seperti orang lain pada masanya, Cook tidak terpengaruh oleh kehadiran penduduk asli di pulau itu. Dia mencatat bahwa mereka wajib pergi dan meninggalkan Eropa untuk melanjutkan upacara mereka.

Sekolah tahun 1996 hingga 2015

Pada dekade pertama abad ke-21, sejarah dimasukkan ke dalam studi sosial di semua negara bagian dan teritori, kecuali New South Wales. Sejarah kolonial Australia yang berfokus pada “penemuan”, fondasi dan ekspansi diturunkan ke tahun empat hingga enam.

Beberapa guru mungkin telah memilih untuk menggunakan penyelidikan kritis untuk mengajar tentang ekspedisi Cook di tahun kesembilan. Sebagian besar cenderung berfokus pada sejarah perang dunia abad ke-20 yang lebih rumit dan kemajuan dalam silabus tahun sembilan dan sepuluh.

Kurikulum Australia, yang diterapkan di semua sekolah mulai tahun 2012, telah mempertahankan pembagian kronologis pengetahuan sejarah ini. Di tahun keempat, siswa belajar tentang Cook dengan “memeriksa perjalanan satu atau lebih penjelajah garis pantai Australia … menggunakan peta navigasi untuk merekonstruksi perjalanan mereka”.

Akan menjadi hal yang tidak biasa bagi guru sekolah menengah akhir-akhir ini untuk mengajar siswa mereka tentang Masak karena topiknya tidak ada dalam kurikulum sekolah menengah.

Kapten Cook 'Menemukan' Australia, Mitos Buku Sekolah Tua

Ini berarti jika anak-anak tidak belajar tentang prestasi Cook di tahun-tahun sekolah dasar, sangat mungkin jika mereka ditanya apa yang mereka pelajari tentang Cook di sekolah, mereka mungkin tidak tahu apa-apa tentang dia.

Continue Reading

Share

Sekolah di Rumah : Tindakan Perlawanan Bagi Berkulit Hitam

Sekolah di Rumah : Tindakan Perlawanan Bagi Berkulit Hitam – Anak saya yang berusia 6 tahun membenci Inggris. Untuk lebih spesifiknya, Kerajaan Inggris yang menguasai hingga seperempat wilayah dunia pada awal 1900-an.

Sekolah di Rumah : Tindakan Perlawanan Bagi Berkulit Hitam

Benci bahwa salah satu berlian terbesar di dunia, ditemukan di India lebih dari 1.000 tahun yang lalu, sekarang duduk di set permata mahkota ratu.

Benci bahwa mereka membuat perbatasan dengan cepat dan keluar dari Asia Selatan pada tahun 1940-an, mengakibatkan kematian jutaan orang, dan membuat kakek dan kakek buyutnya menjadi pengungsi di negara India yang baru terbentuk. https://3.79.236.213/

Bagaimana anak saya yang berusia 6 tahun mengetahui semua ini? Yah, karena kami membicarakannya dan punya banyak buku di rumah. Kami selalu membaca buku tentang budaya dan sejarah Asia Selatan.

Dan sekarang kami memiliki jadwal yang lebih fleksibel karena kami harus bekerja di rumah dan anak-anak harus mengerjakan sekolah di rumah kami memiliki lebih banyak waktu bersama. Dia secara alami tertarik pada buku-buku dengan karakter yang mirip dengannya.

Sebagai sarjana pendidikan multikultural, saya tahu bahwa anak-anak mampu memahami isu-isu kompleks, seperti rasisme, jika mereka dipecah dan dijelaskan dengan cara yang dapat mereka pahami. Jadi, ketika buku berbicara tentang subjek seperti segregasi, perbudakan, kolonialisme atau seksisme, saya dan mitra saya menjelaskan istilah-istilah itu sebaik mungkin.

Pandangan dunia yang berbeda

Percakapan tentang sejarah dunia di rumah kami berjalan sedikit seperti ini:

Induk: “Orang-orang dari Eropa sangat menyukai rempah-rempah dan kain dari Asia Selatan, jadi mereka ingin pergi ke sana untuk membeli barang.”

Kiddo: “Bahkan Christopher Columbus tersesat dan berusaha menemukan India, kan?”

Orang tua: “Benar! Orang Eropa pergi ke Asia Selatan, pertama untuk berdagang dan membeli barang. Tapi kemudian mereka menginginkan lebih banyak kekuatan, dan Inggris memutuskan untuk mengambil alih dan menggertak orang-orang di sekitarnya.”

Kiddo: “Bagaimana mereka menggertak mereka?”

Orang tua: “Mereka menyuruh orang memberi mereka uang (pajak tanah), tidak membiarkan mereka membuat pakaian sendiri untuk dipakai, dan bahkan tidak membiarkan mereka membuat garam dari air di laut di sebelah tempat tinggal mereka!”

Buku-buku seperti “A Taste of Freedom” yang menceritakan Salt March Gandhi yang terkenal untuk memprotes pemerintahan Inggris, dan sumber-sumber seperti situs web dan podcast “Parenting for Liberation” tentu membantu percakapan ini.

Pandemi virus corona telah membawa banyak kesulitan dan sakit hati bagi keluarga di mana-mana, dan juga memudahkan orang tua seperti kita untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anak kita. Bagi orang tua kulit berwarna, ini berarti kesempatan untuk mendidik anak-anak kita sesuai keinginan kita.

Kami memiliki kesempatan untuk menawarkan counter-story yang berfokus pada orang-orang yang mirip dengan kami, sebagai lawan dari memaksa anak-anak kami untuk belajar dari narasi yang ditulis dari perspektif Eropa atau kulit putih.

Keluarga kami menelusuri asal-usul kami ke berbagai bagian Asia Selatan, dan kami menggunakan waktu ini di rumah untuk membaca tentang aktivis anti-kolonial dan anti-kasta seperti BR Ambedkar dan Dakshayani Velayudhan, orang-orang yang tidak akan pernah ditemui putra saya dalam kurikulum sekolahnya.

Rasisme di sekolah dan masyarakat

Tidak ada kekurangan contoh buku teks yang tidak akurat seperti yang ada di Texas yang menjadi berita utama beberapa tahun lalu karena menyebut orang-orang yang diperbudak sebagai “pekerja dari Afrika” imigran.

Ada juga ketidakcocokan budaya antara guru dan siswa Amerika – 80% guru Amerika berkulit putih, tetapi lebih dari separuh siswa bangsa adalah anak-anak kulit berwarna. Dan ketidakcocokan ini penting: Studi menunjukkan bahwa siswa kulit hitam lebih mungkin lulus dari sekolah menengah jika mereka memiliki guru Afrika-Amerika di sekolah dasar.

Terlepas dari identitas etnis guru, penelitian menunjukkan bahwa siswa lebih tertarik pada sekolah dan berbuat lebih baik ketika mereka merasa dapat berhubungan dengan apa yang diajarkan dan ketika pelajaran mencerminkan warisan dan sejarah mereka sendiri. Di sinilah sekolah anak-anak Anda di rumah dapat membuat perbedaan. Artinya, orang tua dapat memilih pelajaran tentang isu-isu sejarah atau kontemporer yang mencerminkan sejarah dan warisan anak-anak mereka.

Sejarah keras

Tidak diragukan lagi, beberapa pendidikan keadilan sosial dapat menjadi terlalu berlebihan dan memberikan paparan yang terlalu dini terhadap gambar-gambar kekerasan dan penderitaan.

Misalnya, anak seorang teman pada usia 5 tahun menonton video di rumah tetangga yang menunjukkan penargetan seorang anak Afrika-Amerika oleh polisi sesuatu yang merupakan bagian dari masalah kekerasan polisi yang lebih besar yang terdokumentasi terhadap orang kulit hitam Amerika di AS. anak akan menjadi tenang dan takut setiap kali dia melihat seorang polisi.

“Pembicaraan” atau diskusi yang dilakukan orang tua Afrika-Amerika dengan anak-anak mereka tentang polisi, adalah penting dan nyata. Namun, semua bentuk pendidikan keadilan rasial harus dilakukan dengan nuansa dan dari tempat pembebasan daripada ketakutan.

Awal tahun ini, ketika putra saya dan saya membaca buku tentang abolisionis dan pahlawan Perang Saudara Harriet Tubman, kami mendengarkan beberapa lagu di YouTube dari film ” Harriet” tapi saya tidak mengizinkan dia melihat videonya. Studi menunjukkan bahwa paparan dini kekerasan grafis dapat menyebabkan trauma dan kesusahan,

sehingga pendidikan keadilan sosial berbasis rumah harus disampaikan dengan hati-hati dan penuh perhatian. Itu berarti dengan hati-hati memilih video dan klip untuk ditonton bersama anak-anak untuk menyaring kekerasan yang berlebihan, dan meluangkan waktu untuk menjelaskan konsep dan masalah yang sulit.

Mencari kebebasan

Dalam membaca dan diskusi di keluarga kami, kami fokus pada gerakan dan aktivis. Pendidik dan legenda TV Fred Rogers dengan terkenal berkata, “Ketika saya masih kecil dan saya akan melihat hal-hal menakutkan di berita, ibu saya akan berkata kepada saya, ‘ Cari pembantu. Anda akan selalu menemukan orang-orang yang membantu”.

Saya akan mengubah sedikit kutipan Mister Rogers untuk orang tua kulit berwarna untuk mengatakan, “Ketika Anda melihat ketidakadilan, carilah orang-orang yang menentang. Anda akan selalu menemukan orang-orang yang melawan.”

Sementara anak saya masih membenci “Inggris,” dia juga tahu tentang abolisionis Inggris yang membantu mantan budak, aktivis dan penulis Frederick Douglass berjuang untuk mengakhiri perbudakan di tahun 1800-an.

Sekolah di rumah memberikan kesempatan unik bagi anak-anak kulit berwarna untuk membangun pengetahuan mereka tentang sejarah mereka dan perjuangan yang lebih besar untuk keadilan sosial dan ras secara lokal dan global.

Sekolah di Rumah : Tindakan Perlawanan Bagi Berkulit Hitam

Mungkin momen ini bisa menjadi peluang, tempat kemungkinan dalam tugas mengasuh anak yang luar biasa dan menakutkan selama pandemi.

Continue Reading

Share

Sejarah Yang Terdapat Dalam Negara Thailand

Sejarah Yang Terdapat Dalam Negara Thailand – Kebudayaan Masa Perunggu diduga dimulai sejak 5600 tahun yang lalu di Thailand (Siam). Kemudian, datang berbagai imigran antara lain suku bangsa Mon, Khmer dan Thai.

Salah satu kerajaan besar yang berpusat di Palembang, Sriwijaya, pernah berkuasa sampai ke negeri ini, dan banyak peninggalannya yang masih ada di Thailand. Bahkan, seni kerajinan di Palembang dengan Thailand banyak yang mirip.

Kerajaan Thai

Di awal tahun 1200, bangsa Thai mendirikan kerajaan kecil di Lanna, Phayao dan Sukhothai. Pada 1238, berdirilah kerajaan Thai yang merdeka penuh di Sukhothai (‘Fajar Kebahagiaan’). Di tahun 1300, Sukhothai dikuasai oleh kerajaan Ayutthaya, sampai akhirnya direbut oleh Burma di tahun 1767. www.mustangcontracting.com

Jatuhnya Ayutthaya merupakan pukulan besar bagi bangsa Thai, namun tak lama kemudian Raja Taksin berhasil mengusir Burma dan mendirikan ibukotanya di Thon Buri. Di tahun 1782 Raja pertama dari Dinasti Chakri yang berkuasa sampai hari ini mendirikan ibukota baru di Bangkok.

Sejarah Thailand

Raja Mongkut (Rama IV) dan putranya, Raja Chulalongkorn (Rama V), sangat dihormati karena berhasil menyelamatkan Thailand dari penjajahan barat. Saat ini, Thailand merupakan negara monarki konstitusional, dan kini dipimpin oleh YM Raja Bhumibol Adulyadej.

Asal mula Thailand secara tradisional dikaitkan dengan sebuah kerajaan yang berumur pendek, Kerajaan Sukhothai yang didirikan pada tahun 1238. Kerajaan ini kemudian diteruskan Kerajaan Ayutthaya yang didirikan pada pertengahan abad ke-14 dan berukuran lebih besar dibandingkan Sukhothai.

Kebudayaan Thailand

Kebudayaan Thailand dipengaruhi dengan kuat oleh Tiongkok dan India. Hubungan dengan beberapa negara besar Eropa dimulai pada abad ke-16.

Namun meskipun mengalami tekanan yang kuat, Thailand tetap bertahan sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh negara Eropa, meski pengaruh Barat, termasuk ancaman kekerasan, mengakibatkan berbagai perubahan pada abad ke-19 dan diberikannya banyak kelonggaran bagi pedagang-pedagang Britania.

Sebuah revolusi tak berdarah pada tahun 1932 menyebabkan dimulainya monarki konstitusional. Sebelumnya dikenal dengan nama Siam, negara ini mengganti namanya menjadi Thailand pada tahun 1939 dan untuk seterusnya, setelah pernah sekali mengganti kembali ke nama lamanya pasca-Perang Dunia II.

Pada perang tersebut, Thailand bersekutu dengan Jepang; tetapi saat Perang Dunia II berakhir, Thailand menjadi sekutu Amerika Serikat. Beberapa kudeta terjadi dalam tahun-tahun setelah berakhirnya perang, namun Thailand mulai bergerak ke arah demokrasi sejak tahun 1980-an.

 Tiba di tahun 1990 merupakan saat dimana Thailand berada dalam kondisi stabil dalam hal konflik, meskipun masih terdapat 233 kematian yang terjadi karena konflik politik yang menyebar di Pattani, Yala dan Narathiwat, terhitung sejak 1979 – 2003. Namun, ternyata keadaan stabil tidak berlangsung lama.

28 April 2004, lebih dari 100 orang kelompok oposisi dari Pemerintah Thailand melangsungkan serangan di 10 pos polisi yang tersebar di provinsi Pattani, Yala dan Songkhla. Serangan dilangsungkan karena konflik berbasis agama antara Pemerintah Thailand dengan kelompok oposisi yang mayoritas beretnis Melayu dan beragama Islam yang sudah berlangsung lama di daerah Selatan Thailand.

Konflik Bersenjata

Salah satu lokasi konflik pada saat itu adalah di Ban Krue Se yang terletak tujuh kilometer dari kota Pattani. Konflik bersenjata antara Pemerintah Thailand dengan kelompok oposisi kala itu menyebabkan 32 orang kelompok oposisi berlindung dalam Masjid Krue Se, sebuah Masjid berumur 425 tahun yang dianggap sebagai Masjid paling bersejarah di Pattani.

Baku senjata berlangsung selama kurang lebih sembilan jam hingga tentara militer Thailand yang dikomandani oleh Jendral Panlop Pinmanee mengamankan Masjid Krue Se dengan membunuh 32 orang kelompok oposisi yang berada di dalamnya dengan senjata api kelas berat dan granat. Terdapat dua orang anak berumur 17 dan 18 tahun di antara 32 orang tersebut.

 tahun 1990 merupakan saat dimana Thailand berada dalam kondisi stabil dalam hal konflik, meskipun masih terdapat 233 kematian yang terjadi karena konflik politik yang menyebar di Pattani, Yala dan Narathiwat, terhitung sejak 1979 – 2003. Namun, ternyata keadaan stabil tidak berlangsung lama.

28 April 2004, lebih dari 100 orang kelompok oposisi dari Pemerintah Thailand melangsungkan serangan di 10 pos polisi yang tersebar di provinsi Pattani, Yala dan Songkhla. Serangan dilangsungkan karena konflik berbasis agama antara Pemerintah Thailand dengan kelompok oposisi yang mayoritas beretnis Melayu dan beragama Islam yang sudah berlangsung lama di daerah Selatan Thailand.

Masjib Yang Bersejarah

Salah satu lokasi konflik pada saat itu adalah di Ban Krue Se yang terletak tujuh kilometer dari kota Pattani. Konflik bersenjata antara Pemerintah Thailand dengan kelompok oposisi kala itu menyebabkan 32 orang kelompok oposisi berlindung dalam Masjid Krue Se, sebuah Masjid berumur 425 tahun yang dianggap sebagai Masjid paling bersejarah di Pattani.

Baku senjata berlangsung selama kurang lebih sembilan jam hingga tentara militer Thailand yang dikomandani oleh Jendral Panlop Pinmanee mengamankan Masjid Krue Se dengan membunuh 32 orang kelompok oposisi yang berada di dalamnya dengan senjata api kelas berat dan granat. Terdapat dua orang anak berumur 17 dan 18 tahun di antara 32 orang tersebut.

Sejarah Thailand

Tindakan Pemerintah dalam penanganan konflik di Selatan Thailand selalu memiliki pola yang sama, di antaranya adalah Militer dan Kepolisian Thailand selalu dilengkapi oleh senjata kelas berat,

Militer dan Polisi selalu bersifat represif kepada massa yang merupakan Muslim, tidak adanya kejelasan sanksi bagi pelaku yang melakukan pembunuhan massal baik di peristiwa Krue Se maupun Tak Bai, tindakan diskriminatif kepada masyarakat Muslim.

Intrumen Hukum

Sejak Tahun 2004 hingga saat ini kekerasan telah menelan korban lebih dari 6500 orang mati terbunuh dan 11.500 orang luka-luka. Selain itu pemberlakukan Darurat Militer dan instrumen hukum keamanan lainnya di Selatan Thailand juga mengakibatkan sering terjadinya penangkapan sewenang-wenang,

Polisi seringkali menangkap seseorang secara sewenang-wenang hanya didasarkan pada fakta bahwa orang tersebut bersekolah di sekolah tertentu atau hanya didasarkan karena sanak saudaranya pernah terlibat dalam tindak kekerasan pada masa lalu. Akan tetapi, perlakuan seperti ini hanya dilakukan Pemerintah Thailand kepada masyarakat Selatan Thailand yang mayoritas Muslim.

Merupakan suatu kewajiban Negara untuk memenuhi, melindungi dan menghargai hak asasi manusia meskipun mereka memiliki pandangan yang berbeda dari pandangan mayoritas, begitu pula jika seseorang memiliki pandangan yang berbeda dengan Negara.

Kejadian di Selatan Thailand mempertontonkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Thailand kepada warganya sendiri. Lebih buruknya lagi, terdapat unsur diskriminasi dalam pelanggaran tersebut yang berbasis etnis dan agama.

Pemerintah Thailand seakan tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan konflik di Selatan Thailand, dapat dilihat dari dua peristiwa berdarah yang telah dijabarkan di atas. Tanpa adanya penegakan sistem hukum yang berkeadilan oleh negara maka peristiwa berdarah lain hanya akan disusul oleh peristiwa berdarah lainnya.

Menjelang peringatan 12 Tahun peristiwa Takbai, tindakan represif dan non legal dari Kepolisian dan Militer Thailand kembali dilakukan kepada masyarakat Melayu Muslim baik di Patani maupun di luar Patani. Tanggal 10 hingga 12 Oktober 2016 lalu, tercatat 44 orang (8 perempuan dan 36 laki-laki) ditangkap di Bangkok, Thailand.

Penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang oleh Kepolisian Thailand dengan alasan untuk mencegah meningkatkan tindak terorisme mengingat akan ada peringatan Peristiwa Tak Bai pada 25 Oktober 2016[1]. Tindakan Kepolisian tersebut juga merupakan tindakan diskriminatif terhadap masyarakat Patani, bahwa Kepolisian telah menstigma buruk peringatan Peristiwa Tak Bai tanpa didasari alasan yang jelas.

Mahasiswa Muslim Yang Ditangkap

Hingga tanggal 15 Oktober 2016, terdapat total 48 mahasiswa Muslim ditangkap secara sewenang-wenang oleh Kepolisian Bangkok didasari informasi dugaan plot bom yang muncul pada awal bulan Oktober lalu. Dari 48 pemuda yang ditangkap, 25 di antaranya dibebaskan tanpa tuduhan dan sisanya ditahan di penjara atau di fasilitas militer.

Hak Asasi Manusia tidak pernah terlepas dari tanggung jawab Negara, Melindungi (Protect), Menghormati (Respect), dan Memenuhi (Fulfill) adalah keharusan. Kenyataannya di Patani, Pelanggaran Hak Asasi Manusia terus berlangsung dengan maraknya pembunuhan dengan cara-cara diluar prosedur hukum,

impunitas terhadap aparat militer dan kepolisian yang melakukan pelanggaran ham, penghilangan paksa, hingga pembungkaman hak berpolitik masyarakat. Negara Thailand memiliki kewajiban dalam hal pemenuhan hak asasi masyarakatnya, hal tersebut mencakup tindakan pencegahan, perlindungan dalam hal terjadinya pelanggaran,

rehabilitasi korban dan masyarakat akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi, hingga pemberian kompensasi kepada korban dan keluarga korban.

Perlindungan hak asasi masyarakat Patani juga merupakan kwajiban dari Negara dan juga sebagai kewajiban yang utama dari Negara dalam menjamin  hak-hak para warga negaranya.

Continue Reading

Share